Laman

karyaku

karyaku
kenangan untuk Nur, Akbar, Ikbal, Anisa, Yoga, Andi dan Sofia

karya sebelumnya

karya sebelumnya

Kamis, 08 April 2010

Dalam Penulisan: Kepedulian adalah Rukh Tuhan

Bagaimana mungkin Anda menulis tanpa kepedulian? Atau apa resikonya, menulis tanpa kepedulian? Tulisan Anda takkan bisa menggerakkan orang. Anda perhatikan bagaimana cara seorang ibu memekik khawatir, "Aduh, Butet. hati-hati, nanti jatuh," sambil bergegas ke arah si Butet yang siap loncat dari atas meja. Pekikan si ibu terlihat satu kata dan perbuatan bahkan perbuatannya (walk the talk-nya) lebih menonjol.
Kepedulian, menghasilkan intonasi kata, tekanan, diksi, irama, dan pesan-pesan menggerakkan lainnya. Naluri anak --Anda sendiri pasti masih ingat-- akan segera memanfaatkan kekhawatiran si ibu ini untuk bargaining, "Ya, aku turun tapi belikan es krim sekarang!"
Butet merasa di atas angin.
Ibunya, dengan semangat pengasih mengiyakan.
Dalam proses nego menego alamiah ini, kehidupan sedang mengajarkan, bagaimana kepedulian si ibu dapat menggerakkan si Butet. Si Butet pun sedang belajar, bagaimana indah dan bermaknanya dicintai orang lain. Peduli, sering berdampingan dengan rasa khawatir. Khawatir itu sendiri adalah sebuah "getaran energi" yang akan sampai ke orang yang dituju, seringkali melampaui kedahsyatan kata-kata itu sendiri.
Kepedulian --seperti kepedulian si ibu tadi-- adalah "rukh Tuhan" ia adalah sebuah energi yang akan menghasilkan diksi, intonasi, tekanan, sedih, senang, berharap, pasrah dan sebagainya secara alami. Inilah yang gagal diajarkan para guru sastra di fakultas sastra. Karena kepenulisan disterilkan dari kehidupan riil, praktikal, empati dan proses-proses, akibatnya sedikit sekali fakultas sastra melahirkan sastrawan, kecuali kritikus sastra yang mengurai-urai "naskah kehidupan" seperti para mahasiswa kedokteran menyembelih kodok di laboratorium.
Menulis, harus seperti komitmen melindungi seorang ibu kepada anaknya, dia bekerja dengan empati, kepedulian, keprihatinan dan panggilan ingin memberikan --segalanya-- yang terbaik. Ia melihat khalayak yang akan disapanya dengan penuh harapan.
Ia selalu berusaha menyatukan satunya kata dan perbuatan. ia menerjuni masalah, membelainya, mendengarnya dengan hati, bukan mengambil jarak.
Barangkali karena tiadanya interlegos itulah bumi Indonesia sekarang ini dipenuhi politisi-politisi salon, berlagak pembela rakyat sambil mengkhianatinya tanpa rasa salah.
Penulis, tak patut hidup di atas menara gading. Penulis tak boleh seperti jendral modern yang memimpin perang dari gedung Mabes yang ber-AC sambil merokok cerutu, sementara anak buahnya bersimbah darah dan peluh di medan riil peperangan.
Hadirlah Anda ke tengah kehidupan, tulis apa yang anda pikirkan mulai dari situ, meski pun menyelesaikannya nanti sambil menepi di bawah pohon. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar